BAB
I
1.1 Latar Belakang Masalah
Sebagai
salah satu komponen pendidikan yang wajib diajarkan di sekolah, pendidikan
jasmani memiliki peran yang sangat strategis dalam pembentukan manusia
seutuhnya. Pendidikan jasmani tidak hanya berdampak positif pada pertumbuhan
fisik anak, melainkan juga perkembangan mental, intelektual, emosional, dan
sosialnya.
Ditempatkannya
pendidikan jasmani sebagai rangkaian isi kurikulum sekolah bukanlah tanpa
alasan. Kurikulum yang merupakan seperangkat pengetahuan dan keterampilan
merupakan upaya yang sistematis untuk membekali siswa/peserta didik menjadi
manusia yang lengkap dan utuh. Pendidikan tidak lengkap tanpa pendidikan
jasmani, dan tidak ada pendidikan jasmani tanpa media gerak. Karena gerak
sebagai aktivitas jasmani merupakan dasar alami bagi manusia untuk belajar
mengenal dunia dan dirinya sendiri. Hal ini juga selaras dengan faham
monodualisme yang berpandangan bahwa jasmani dan rokhani manusia merupakan satu
kesatuan yang utuh, sehingga muncul istilah yang Iebih dikenal dengan
pendidikan manusia seutuhnya.
Makna
penting pendidikan jasmani serta manfaatnya bagi pengembangan kepribadian
manusia rasanya tidak perlu dipersoalkan Iagi. Justru yang menjadi masalah
adalah apakah pendidikan jasmani sebagai faktor penting pembentukan manusia
seutuhnya telah ditempatkan secara proporsional? Apakah pelaksanaan pendidikan
jasmani di sekolah sudah sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran pendidikan
jasmani? Apakah dalam implementasinya telah didukung oleh sumberdaya yang
memadai? Apakah pembelajaran yang telah, dilakukan mampu mengembangkan individu
secara utuh? Pertanyaan-pertanyaan tersebut hakikatnya tidak dapat dilepaskan
dari pertanyaan dasar, yaitu: apakah kurikulum yang dikembangkan telah seimbang
dan efektif?
Sebelurn sampai pada pembicaraan tentang kurikulum,
ada baiknya kita melihat kondisi Pendidikan jasmani di Indonesia dewasa ini.
Sebab, bagaimanapun pelaksanaan Pendidikan jasmani sekarang ini tidak bisa
dilepaskan dan bahkan merupakan cerminan dari kurikulum yang berlaku saat ini.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1 Bagaimana
kondisi kurikulum penjas di Indonesia saat ini?
1.2.2 Bagaimana peranan atau eksistensi pendidikan
jasmani dalam kurikulum?
1.2.3 Bagaimana keseimbangan kurikulum di
Indonesia?
1.2.4 Bagaimana tingkat keefektifan pengembangan
kurikulum di Indonesia?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui kondisi kurikulum penjas di
Indonesia saat ini?
1.3.2 Untuk mengetahui peranan atau eksistensi
pendidikan jasmani dalam kurikulum?
1.3.3 Untuk mengetahui keseimbangan kurikulum di
Indonesia?
1.3.4 Untuk mengetahui tingkat keefektifan
pengembangan kurikulum di Indonesia?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Kondisi Pendidikan Jasmani di Indonesia
Saat Ini
Dan
pengamatan para ahli dan didukung oleh beberapa peneiitian empiris menunjukkan
bahwa pelaksanaan Pendidikan jasmani di sekolah di Indonesia masih kurang
menggembirakan (Cholik Mutohir, 1996a; Mendikbud, 1996). Indikatornya antara
lain adanya kecenderungan semakin menurunnya tingkat kesegaran jasmani siswa
dan rendahnya partisipasi siswa dalam kegiatan pendidikan jasmani maupun
ektrakurikuler olahraga.
Sungguhpun
disadari bahwa Pendidikan jasmani tidak semata-mata mengembangkan keterampilan
jasmani, tetapi masih banyak mereka yang tidak memahami bahwa Pendidikan
jasmani juga mengembangkan keterampilan sosial (social skill),
emosional, dan intelektual. Pendidikan jasmani lebih disoroti dari sisi
kelemahan dan kekurangannya dibandingkan dengan sisi-sisi positip dan
keunggulannya. Pemahaman dan penilaian yang demikian sudah barang tentu
tidaklah benar. Bila dicermati, pengajaran yang baik dalam pendidikan jasmani
lebih dari sekedar mengembangkan keterampilan berolahraga. Pengajaran yang baik
tersebut melibatkan aspek-aspek yang berhubungan dengan apa yang sebenarnya
dipelajari oleh siswa melalui partisipasinya, apakah itu neuromuskuler,
intelektual, emosional, dan bukan aktivitas olahraga semata. Pendidikan jasmani
yang merupakan bagian pendidikan keseluruhan pada hakikatnya adalah proses
pendidikan dimana tarjadi interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya
yang dikelola melalui aktivitas jasmani secara sistematik menuju pembentukan
manusia seutuhnya.
Munculnya
persepsi yang kurang menguntungkan tersebut menyebabkan posisi pendidikan
jasmani cukup dilematis sehingga memunculkan permasalahan yang lebih krusial. Salah
satu masalah utama pendidikan jasmani di Indonesia hingga dewasa ini adalah
belum efektifnya pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah sebagai akibat dari
posisi yang semakin terpinggirkan (Cholik Mutohir, 1996a; 1996b). Rendahnya
kualitas pembelajaran pendidikan jasmani mulai sekolah dasar sampai sekolah
lanjutan telah dikemukakan dan ditelaah dalam berbagai forum dan kesempatan
oleh beberapa pengamat. Secara umum, kondisi ini disebabkan oleh beberapa
faktor diantaranya ialah terbatasnya kemampuan guru pendidikan jasmani dan
sumber-sumber yang digunakan untuk mendukung proses pembelajaran. Terbatasnya
jumlah guru pendidikan jasmani yang ada di Sekolah Dasar hingga sekolah
lanjutan juga merupakan kendala yang sampai sekarang belum bisa teratasi. Perbandingan
jumlah guru dan sekolah kurang lebih 1 berbanding 2. (Mendikbud/Dirjen
Dikluspora, 1996).
Rendahnya
mutu dan jumlah guru pendidikan jasmani di sekolah pada gilirannya melahirkan
ketidakmampuan mereka dalam melaksanakan tugasnya secara profesional. Mereka
belum berhasil melaksanakan misinya untuk mendidik siswa secara sistematik
melalui program pendidikan jasmani yang semestinya dapat mengembangkan
kemampuan dan keterampilan anak secara menyeluruh baik fisik, mental, maupun
intelektual. Hal ini amat terasa pada guru pendidikan jasmani di sekolah dasar,
karena mereka pada umumnya adalah guru kelas yang secara formal tidak mempunyai
kompetensi dan pengalaman dalam mengelola pendidikan jasmani.
Model
praktik pembelajaran pendidikan jasmani yang dilakukan oleh guru cenderung
tradisional, dan berpusat pada guru. Proses pembelajaran hampir tidak pernah
dilakukan atas inisiatif anak sendiri. Di samping itu, anak sering dianggap
sebagai "orang dewasa kecil" yang mampu melakukan kegiatan layaknya orang
dewasa. Guru mengajarkan olahraga baku kepada anak yang notabene belum mampu
melakukan aktifitas sebagaimana yang dilakukan oleh orang dewasa. Jadi dapat
diramalkan bahwa tingkat keberhasilan siswa dalam menyelesaikan tugas
pembelajaran tergolong rendah.
Berangkat
dari kenyataan tersebut, pemerintah, dalam hal ini Depatemen Pendidikan, telah
mengambil langkah-langkah tertentu sebagai upaya memperbaiki model pembelajaran
Penjaskes di sekolah, terutama sekolah dasar. Upaya tersebut ditempuh antara
lain dengan mengintroduksi sebuah pendekatan pembelajaran yang disebut
modifikasi olahraga. Gerakan ini mengarah pada pengembangan model pembelajaran
pendidikan jasmani yang sesuai bagi siswa di sekolah dasar.
Dengan
adanya gerakan ini, perkembangan pendidikan jasmani di Indonesia beberapa tahun
terakhir menunjukkan adanya perkembangan yang cukup berarti. Sebagai model
pengajaran alternatif, modifikasi olahraga telah dikonsepsikan dan diujicobakan
melalui beberapa penelitian hingga didapatkan paket-paket pembelajaran yang operasional.
Temuan penelitian Cholik Mutohir, dkk (1996b) dan Maksum (1996; 1998)
menunjukkan bahwa model pembelajaran pendidikan jasmani dengan pendekatan ini,
partisipasi siswa lebih tinggi dibanding pengajaran tradisional. Guru lebih
leluasa memanfaatkan sumber-sumber pembelajaran yang ada di lingkungan sekitar.
Hal lain dari temuan penelitian ini adalah anak merasa senang dan gembira dalam
mengikuti proses pembelajaran.
2.2 Eksistensi
Pendidikan Jasmani dalam Struktur Kurikulum
Krisis
pendidikan jasmani yang terjadi hingga saat ini tidak bisa dilepaskan dari
pemahaman kita terhadap eksistensi pendidikan jasmani sebagai salah satu
komponen penting dalam kurikulum. Cukup banyak tulisan atau pendapat dari pakar
termasuk para pengambil kebijakan yang menyatakan bahwa pendidikan jasmani itu
penting, namun pada tataran praktis ternyata "jauh panggang dari pada
api''. Apa yang terjadi di lapangan ternyata tidak sesuai dengan yang
dikonsepsilkan. Alokasi waktu yang terbatas, kualifikasi tenaga pengajar yang
tidak sesuai, dan minimnya anggaran yang dialokasikan. Selain itu, berdasarkan
hasil pengamatan menunjukkan bahwa telah terjadi kelangkaan infrastruktur di
sebagian besar sekolah. Kondisi yang demikian sudah barang tentu sangat tidak
menguntungkan bagi pengembangan Pendidikan jasmani itu sendiri.
Misi pokok pendidikan jasmani seringkali belum dapat dipahami oleh banyak orang, sekalipun itu pendidik. Salah satu fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa pendidikan jasmani sering dianggap sebagai bidang studi pelengkap dan dalam posisi yang kurang menguntungkan. Pertama, pendidikan jasmani adalah program yang relatif lebih mahal untuk dilaksanakan karena memerlukan banyak perlengkapan. Kedua, banyak orang menilai bahwa pendidikan jasmani kurang penting dibanding pelajaran lain seperti matematika, bahasa, dan sebagainya.
Gambar 1:
"Maping" Pendidikan jasmani dalam Kurikuium
Kita
semua menyadari bahwa perkembangan dan pertumbuhan anak baik secara fisik
maupun intelektual akan berlangsung normal apabila diciptakan suatu kondisi
yang memungkinkan aspek-aspek tersebut tumbuh dan berkembang secara wajar.
Pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan secara
keseluruhan. Pendidikan jasmani adalah wahana untuk menumbuh-kembangkan anak
secara wajar dan efektif. Oleh karenanya, sudah selayaknya bila pendidikan
jasmani diberikan perhatian yang proporsional dan dilaksanakan secara efisien,
efektif serta sesuai dengan kondisi fisik dan psikis anak.
2.3 Kurikulum
yang Seimbang dan Efektif
Pengertian
tentang kurikulum yang seimbang tidak berarti alokasi waktu yang disediakan
dibagi sama untuk semua bidang studi, tetapi lebih mengacu pada proporsi yang
rasional untuk masing-masing bidang studi tersebut serta mengandung muatan
kemampuan yang relatif berimbang. Sebagai ilustrasi, pada kurikulum SLTP 1994,
terdapat 12 bidang studi, salah satu diantaranya adalah Pendidikan jasmani dan
Kesehatan Total waktu untuk dua belas bidang studi tersebut adalah 44 jam per
minggu, dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan hanya 2 jam per minggu (4,5%).
Sudah barang tentu ini bukanlah suatu perbandingan yang masuk akal bagi bidang
studi Pendidikan jasmani, apalagi waktu 2 jam tersebut dibagi antara Pendidikan
jasmani sendiri dan Kesehatan. Alokasi waktu nampaknya masih terkonsentrasi pada
kelompok bidang studi tertentu.
Kurikulum
pendidikan jasmani yang seimbang mencirikan bahwa muatan pendidikan jasmani
tidak ditekankan hanya pada penguasaan keterampilan motorik, tetapi juga
pengembangan nilai-nilai kepribadian peserta didik. Kurikulum yang seimbang
bersifat integratif dan eklektif, tidak menekankan pada satu model tertentu.
Seperti
diketahui terdapat beberapa model pendekatan dalam kurikulum pendidikan
jasmani. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah :
1.
Pendekatan Eklektik
Sebuah
pendekatan yang menekankan pada penyediaan kesempatan kepada siswa
seluas-luasnya untuk berpartisipasi aktif dalam setiap aktivitas sesuai dengan
minat dan kebutuhannya. Dalam konteks ini, kegiatan diciptakan secara
bervariasi berdasarkan prinsip maju berkelanjutan; bergerak dari bentuk kegitan
yang sederhana menuju yang ke yang lebih kompleks.
2.
Pendekatan "Pendidikan Gerak"
Isu utama
pendekatan ini adalah pada pemahaman dan pengembangan konsep gerak serta
bagaimana gerak tersebut dilakukan.
3.
Pendekatan "Pendidikan Olahraga"
Olahraga
dalam konteks pendidikan semata-mata hanya digunakan sebagai media sosialisasi
nilai-nilai pendidikan (misalnya: kepemimpinan, memecahkan masalah, taat pada
aturan yang berlaku, sportif, bertanggung jawab, dan belajar hidup bermasyarakat).
Sungguhpun demikian, dimungkinkan siswa berpartisipasi dalam cabang olahraga
yang diminatinya secara lebih optimal. Atas dasar alasan ini, pendekatan
pendidikan olahraga lebih sesuai diterapkan pada kelas-kelas atas.
4.
Pendekatan "Pendidikan Rekreasi"
Fokus
utama pendekatan ini adalah pada unsur "kesenangan" dan
"kegembiraan" siswa. Desain proses pembelajaran lebih banyak
memberikan suasana relaks kepada siswa untuk melakukan aktivitas.
5.
Pendekatan "Pendidikan Kesegaran Jasmani"
Pendekatan
ini lebih didasarkan pada upaya pengembangan budaya hidup sehat kepada para
siswa melalui kegiatan jasmani. Sungguhpun orientasi pendekatan ini pada
kesegaran jasmani, tetapi kegiatan dapat berbentuk self testing activities maupun
team games yang juga menganut prinsip maju berkelanjutan, dari bentuk
kegiatan yang sederhana menuju yang lebih kompleks.
Sebagaimana
dikemukakan di atas, pendekatan eklektik dipilih karena lebih memberikan
peluang yang seimbang kepada siswa untuk bereksplorasi sesuai dengan minat dan
kebutuhannya; seimbang antara fisikal dan mental, verbal skill dan nonverbal
skill, intelegensi dan emosi. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa kurikulum
pendidikan jasmani yang seimbang mampu menumbuh-kembangkan pribadi anak
seutuhnya (allround development) yang mencakup ranah intelektual,
fisikal, emosional, spiritual, dan sosial.
Menurut
hemat saya, secara umum kurikulum pendidikan di Indonesia masih cenderung
menekankan pada kemampuan intelektual (verbal skill, logical &
analytical) dan belum memberikan perhatian yang proporsional pada nonverbal
skill, gerak, dan emosi (lihat tabel 1). Kurikulum juga harus mendorong
terjadinya proses pembelajaran yang memberikan peluang bagi peserta didik
belajar untuk tahu (learning to know) belajar untuk bekerja (learning
to do) belajar untuk mandiri (learning to be) dan belajar untuk
hidup bersama (learning to live together).
Tabel
1 : The Dual Brain System
Left Brain
|
Right Brain
|
Time
|
Space
|
Detail, part of
|
Whole
|
Verbal Skill
|
Visual (Non Verbal) Skill
|
Logikal & Analytical
|
Intuitive Perception
|
Control of the right side of body
|
Control of the left side of body
|
Intelligence
|
Emotion
|
Rencana
pergembangan kurikulum pendidikan jasmani sebagaimana layaknya kurikulum di
bidang lain biasanya didasarkan pada hasil akhir yang hendak dicapai (desired
outcomes) oleh peserta didik. Jadi sebelum merancang suatu kurikulum, langkah
pertama adalah mengidentifikasi hasil keluaran (exit outcomes) yang diharapkan
dari peserta didik setelah selesai mengikuti program. Hasil keluaran tersebut
merupakan tingkat pencapaian prestasi sesuai dengan standar kompetensi yang
dikehendaki. Setelah itu baru disusun hasil antara (intermediate outcomes) yang
harus dicapai siswa setiap tingkat dan setiap unit pelajaran.
Standar
kompetensi untuk pendidikan jasmani pada tingkat nasional perlu dikembangkan
dan disepakati sebelum kita merancang kurikulum. Standar nasional tersebut
dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan tingkat prestasi (achievement)
yang diharapkan setelah peserta didik selesai mengikuti program pendidikan
jasmani. Berikut ini adalah salah satu contoh standar nasional pendidikan
jasmani yang diberlakukan di Amerika Serikat (AAPHERD, 1999).
National Standards for Physical
Education
Standard
1 : Demonstrates competency in many movement forms and proficiency in a few
movement forms.
Standard
2 : Applied movement concept and principles to the learning and development of
motor skill.
Standard 3 : Achieves and
maintains a health enhancing level of physical fitness.
Standard 4 : Exhibits a
physically active lifestyle.
Standard
5 : Demonstrate responsible personal and social behavior in physical activiti
settings.
Standard
6 : Demonstrate understanding and respect for differences among people in
physical activity settings.
Standard
7 : Understands that physical activity provides opportunities for enjoyment,
challenge, self-expression, and social interaction.
Standar
seperti disebutkan di atas membantu menentukan hasil keluaran dan kurikulum
yang sesuai dengan perkembangan anak (developmentally appropriate curricula).
Di samping penentuan standar nasional beberapa prinsip dasar berikut perlu
diperhatikan dalam merancang kurikulum pendidikan jasmani.
1.
Perhatian selalu dipusatkan pada hasil keluaran setiap tingkat kelas, ini
merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran termasuk penilaian.
2.
Rencanakan berbagai peluang bagi peserta didik untuk menguasai kompetensi
termasuk pengetahuan dan keterampilan yang dipersyaratkan sebelum maju ke
tingkat yang lebih tinggi.
3.
Rencanakan bagaimana setiap peserta didik memperoleh dukungan sesuai dengan
kebutuhannya sehingga termotivasi untuk mencapai tujuan program.
4.
Buat rancangan secara mundur dari hasil keluaran - hasil program - hasil mata
pelajaran (Course outcomes) - hasil unit (unit outcomes) sampai
dengan hasil pembelajaran (lesson outcomes).
·
Selain
hal-hal tersebut ada beberapa catatan yang perlu mendapat perhatian:
1)
Tujuan bersifat fisik oriented dengan pengabaian pada tujuan-tujuan non-fisik. Tidak
bisa dipungkiri bahwa pendidikan jasmani objek formalnya adalah gerak fisik
insani, tapi tidak berarti dengan objek formal yang demikian menyebabkan
hilangnya substansi lain seperti aspek kognitif, afektif, dan sosial. Persoalan
tersebut pada gilirannya membawa implikasi pada model evaluasi yang
dikembangkan. Dalam kaitan ini, pemahaman terhadap filosofi pendidikan jasmani
perlu direaktualisasi.
2)
Pola pengembangan materi yang bersifat kecabangan (sport base). Pada
tingkat pendidikan dasar, seyogyanya materi tidak dikemas dalam nuansa cabang
olahraga, tetapi lebih berdasarkan pada unit aktivitas tertentu. Hai ini
menjadi semakin penting sehubungan dengan upaya memberikan pengalaman gerak sebanyak-banyaknya
kepada anak.
3)
Guru perlu diberikan keleluasaan untuk mengembangkan pola pengajarannya. Hai
ini mengingat, kondisi sekolah dalam kenyataannya tidaklah sama, baik dalam
fasilitas, sarana prasarana maupun infrastruktur lainnya.
4)
Alokasi waktu pendidikan jasmani atau bentuk kegiatan olahraga di sekolah perlu
ditingkatkan. Sungguhpun optimalisasi tetap harus dilakukan, saya mengusulkan
untuk menambah jam pelajaran pendidikan jasmani dari yang selama ini 2 jam
perminggu menjadi 4 jam dua kali perminggu.
Faktor
penting yang hendaknya juga menjadi fokus perhatian adalah model pembelajaran
yang selama ini diterapkan oleh guru pendidikan jasmani di sekolah. Pada
tataran implementasi, model pembelajaran merupakan wujud kongkrit pelaksanaan
kurikulum di lapangan. Terkait dengan masalah ini, saya ingin memberikan penekanan
kembali tentang pendekatan modifikasi olahraga sebagaimana yang pernah saya
kemukakan dalam beberapa kesempatan. Sebagai pendekatan pembelajaran,
modifikasi olahraga dimaksudkan untuk mengganti model pengajaran tradisional
yang selama ini diterapkan. Pendekatan ini telah berhasil diterapkan dibeberapa
negara seperti Amerika dan Australia (Siedentop, 1994; Tinning, Kirk &
Evans, 1993; Australian Sports Commision, 1994). Pengajaran model ini sama
dengan pengajaran reflektif yang pada hakikatnya menolak pendekatan secara
linier, rutin dan monoton. Modifikasi dapat dilakukan pada alat, ukuran
lapangan, aturan permainan, dan sebagainya. Seorang guru dikatakan berhasil
apabila ia dapat mencapai kepuasan profesional, dan ia secara kreatif mampu
menggunakan berbagai keterampilan mengajar serta berinteraksi secara efektif
dengan lingkungan pembelajaran. Guru harus mampu memanfaatkan lingkungan yang
ada secara optimal sehingga dapat menumbuhkan situasi dan kondisi dimana anak
terangsang untuk senang belajar.
Konsep
modifikasi olahraga pada dasarnya berpedoman pada Developmentally Apropriate
Practice (DAP) yang mengacu pada pembelajaran individual (individualize
instructional approach). Pembelajaran berpusat pada anak didik dan berusaha
disesuaikan dengan kondisi fisik dan psikis anak. Model ini dirancang untuk
membantu anak dalam mengembangkan suatu pengertian yang lebih baik tentang diri
dan lingkungannya serta hubungannya dengan olahraga yang digemari dan media
yang digunakannya. Dalam program ini siswa diminta untuk menjelaskan secara
luas tentang masalah-masalah termasuk konstruksi media kesegaran, tingkah laku
sportif dan kesamaan hak dalam pendidikan jasmani dan olahraga. Anak diajak
untuk terlibat aktif dalam proses pembuatan keputusan dalam kelas dan belaiar melalui
diskusi dan pemecahan masalah. Guru bertindak sebagai fasilitator untuk
mengarahkan siswa dalam belajar.
Gambar 2 :
Alur Pemikiran Pendekatan
Modifikasi Olahraga
Dalam
konteks seperti apa yang digambarkan di atas. Penjaskes dilaksanakan dalam kerangka
mengembangkan keterampilan dasar anak secara umum melalui pendekatan
keterampilan yang telah dimodifikasi sesuai dengan kondisi atau karakteristik
perkembangan fisik dan mental anak. Langkah selanjutnya adalah memberikan
pengayaan gerak dasar dominan yang disenangi anak serta mengenalkan teknik
dasar kecabangan olahraga.
Jika
dipetakan, perbandingan antara pendekatan pembelajaran tradisional dengan
pembelajaran modifikasi olahraga atau reflektif dapat dirinci seperti tampak
pada tabel 2 berikut.
Tabel 2 : Perbedaan Karakteristik
Pengajaran Tradisional dan Reflektif
Variabel
|
Reflektif
|
Tradisional
|
Perencanaan
|
Rencana pelajaran disesuaikan
dengan tingkatan anak dan kelas
|
Menggunakan rencana pelajaran
yang sama
|
Kemajuan
|
Didasarkan antara lain pada
kondisi perkembangan, kebutuhan keterampilan
|
Didasarkan antara lain pada
unit kegiatan 6 minggu, jumlah materi yang telah dicakup dalam semester atau
rumus yang telah ditetapkan sebelumnya
|
Kurikulum
|
Berdasarkan analisis kemampuan
awal dan kebutuhan dirancang kurikulum yang unik untuk setiap kelas
|
Menggunakan kurikulum yang
telah ditetapkan tanpa memperhatikan kemampuan anak, minat anak atau pengaruh
masyarakat
|
Peralatan & Fasilitas
|
Dimodifikasi
|
Bergantung pada fasilitas dan
peralatan yang ada
|
Disiplin
|
Berupaya memahami masalah,
faktor penyebab, dan altematif pemecahannya
|
Mengasumsi anak bersikap tidak
pada tempatnya
|
Evaluasi
|
Evaluasi secara teratur, dan
mengevaluasi efektivitas pengajaran lewat anak dan teman sejawat
|
Evaluasi secara sporadik dan
biasanya didasarkan pada kebaikan perilaku anak
|
Sesungguhnya
model-model pengajaran pendidikan jasmani telah didokumentasikan dengan baik
(misalnya: Moston, 1994) dalam bukunya ”Teaching Physical Education".
Bagaimana memilih model yang sesuai akan sangat tergantung pada tujuan yang
diinginkan. Berikut ini serangkaian langkah-langkah untuk memilih model
pengajaran yang dikemukakan oleh Moston.
1.
Perhatikan interaksi antara guru-siswa-tujuan yang merefleksikan perilaku
guru-siswa dalam suatu proses untuk mencapai tujuan pada setiap tahap
pengajaran.
2.
Perhatikan rangkaian tahap yang membentuk satu proses pengajaran.
3.
Rumuskan tujuan setiap tahap (tugas apa yang harus diselesaikan dan dilakukan
oleh siswa, standar kompetensi apa yang harus dicapai, tingkah laku siswa apa
yang harus dikembangkan, dan tingkah laku manakah yang harus dinilai).
4.
Tentukan apakah tugas-tugas tersebut bersifat reproduksi (menirukan/mengulang)
atau menemukan (produksi). Bila reproduksi, pilihlah model komando,
praktik-latihan, resiprokal, periksa diri, dan inklusi (pelibatan seluruh siswa
untuk bisa melakukan suatu aktivitas). Bila bersifat produksi, pilihlah model
penemuan terbimbing, penemuan konvergen, dan penemuan divergen.
5.
Tentukan perilaku apa yang perlu dikembangkan, atau perilaku siswa apa yang
harus dievaluasi.
6.
Bandingkan antara tujuan pengajaran yang dikehendaki (intention) dengan tujuan
yang telah dicapai (action). Kecocokan antara tujuan yang diharapkan dan
yang dicapai menunjukkan kesesuaian model pengajaran yang diterapkan.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Upaya
untuk memajukan Pendidikan jasmani harus tetap didorong melalui penciptaan
situasi dan kondisi yang menunjang. Pendidikan jasmani harus ditempatkan secara
proporsional dalam struktur kurikulum, sehingga didapatkan ''keseimbangan
kurikulum" yang tercermin pada alokasi waktu, peningkatan anggaran biaya,
peningkatan infrastruktur, peningkatan kualitas guru (fit and proper test).
Keseimbangan
kurikulum perlu dibarengi dengan keefektifan pelaksanaannya di lapangan melalui
model pembelajaran yang memungkinkan siswa bereksplorasi, mendapatkan
pengalaman gerak seluas-luasnya.
3.2 Saran
Diharapkan
setelah membaca makalah ini, khususnya kita sebagai mahasiswa sebagai calon
pendidik dapat mengaplikasikan pengembangan kurikulum yang dapat menunjang
pembelajaran dalam bidang studi apapun, Karena hal ini sangat bermanfaat dalam
pembelajaran sehingga para pebelajar tidak bosan dengan model pembelajaran yang
lama dan supaya dengan pengembangan kurikulum yang baru dapat meningkatkan
motivasi belajar siswa.
daftar pustakanya mana????
BalasHapus